Sabtu, 06 Maret 2010

UJIAN NASIONAL VERSUS MEMBANGUN KARAKTER BANGSA


Genderang ujian nasional bagi sekolah/madrasah mulai ditabuh. Sekolah/madrasah mulai mempersiapkan diri demi tercapainya sebuah goal yaitu lulus ujian nasional. Dari pihak sekolah/madrasah memberikan jam tambahan bagi para siswa. Disini guru mata pelajaran ujian nasional (UN) bekerja ekstrakeras memberikan ”tip dan trik” bagaimana menjawab soal-soal ujian secara smart. Bagi siswa yang berasal dari keluarga ”cukup berada” masih ditambah lagi dengan mengikuti program bimbingan belajar yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Yang eronis adalah guru mata pelajaran UN ini juga menyelenggarakan bimbingan belajar, baik dia bekerja pada lembaga bimbingan belajar atau menyelenggarakan sendiri. Sudah bisa dibayangkan, ketika guru yang bersangkutan memberi pembelajaran di sekolah/madrasah pasti pembelajarannya cenderung seenaknya, tidak detail , dan tidak memberikan ”tip dan trik” bagaimana menjawab soal-soal ujian secara ”smart”, karena yang saya sebut terakhir ini hanya dijual pada lembaga-lembaga bimbingan belajar. Yang tidak kalah pentingnya peranannya orang tua siswa, mereka selalu menekankan dan memantau anaknya untuk belajar lebih giat lagi, jika perlu dipenuhi segala kebutuhan anak dari buku-buku pelajaran, sarana prasarana (misal:internet) sampai dimasukkan ke lembaga bimbingan belajar. Dan yang tidak mau ”kebakaran jenggot” adalah para Kepala Sekolah, Pengawas dan Kepala Dinas Pendidikan Kab/kota serta Mapenda (Depag), selalu memberikan arahan agar sekolah/madrasah kab/kota meningkatkan nilai Ujian nasional lebih baik dari tahun yang kemarin agar ranking nilai ujian nasional kab/kota yang bersangkutan semakin meningkat atau tidak ketinggalan dari daerah lainnya. Itulah gambaran clasic yang dihadapi dunia pendidikan kita menjelang ujian nasional (UN).

Senin, 01 Maret 2010

SERTIFIKASI GURU DAN PERMASALAHANNYA

SERTIFIKASI GURU DAN PERMASALAHANNYA
Di tempat tinggal penulis terdapat seorang yang sudah tua renta. Sehari-harinya hanya terkapar di dalam kamar akibat kelumpuhan yang dideritanya. Sudah hampir lima tahun, beliau lakoni kehidupan yang semacam ini. Makan, minum, mandi dan buang hajat selalu dibantu oleh anggota keluargannya. Kian hari kondisinya kian memprihatinkan, badannya kurus kering. Yang dapat dilakukan hanyalah menunggu saat ajal tiba. Kata-kata yang selalu keluar ketika ada orang menjenguknya selalu sama: ”kapan saya akan mati? Bukankah si ”A”, si ”B”, atau si ”C” yang masih muda-muda lebih dulu meninggal? Apa mungkin catatan nama saya sudah dilupakan/dihapus oleh Tuhan, sehingga saya tidak mati-mati?”. Inilah fenomena yang dialami salah satu anggota keluarga penulis yang sudah tua sekali dan ingin segera mati, tetapi Tuhan belum juga memanggilnya.
Paragraf diatas dapat dijadikan ilustrasi tentang pemanggilan guru-guru yang mengikuti sertifikasi. Kejutan selalu terjadi ketika pengumuman kuota sertifikasi Dindik kab/kota dipasang di papan pengumuman masing-masing kantor Dindik kab/kota. Masalah klasik yang selalu tampil kepermukaan adalah munculnya nama-nama dengan usia muda yang mendapatkan panggilan untuk mengumpulkan portofolio, sedangkan nama-nama dengan usia lebih tua dengan kualifikasi pendidikan S1 ditinggalkan begitu saja. Pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya yang dijadikan rujukan untuk menentukan si ”A” dapat dipanggil untuk mengikuti sertifikasi? Bagaimana kinerja Dindik kab/kota dalam penentuan nama-nama yang akan dipanggil mengikuti sertifikasi? Apakah berdasarkan database yang dari pusat, atau Dindik kab/kota membuat database sendiri? Apakah sistem informasi dan teknologi yang dimiliki Dindik kab/kota sudah memadai dalam melakukan pendataan? Bagaimana kualitas SDM-nya? Dan sederet pertanyaan lainnya yang masih dapat kita identifikasi. Bahkan sampai pertanyaan yang radikal yaitu bagaimana contiguity factor atau ”faktor kedekatan” dengan pegawai/staf Dindik kab/kota dapat bermain? Ataukah nama-nama guru senior ini telah dilupakan dan dihapus dari Dindik kab/kota?