Senin, 01 Maret 2010

SERTIFIKASI GURU DAN PERMASALAHANNYA

SERTIFIKASI GURU DAN PERMASALAHANNYA
Di tempat tinggal penulis terdapat seorang yang sudah tua renta. Sehari-harinya hanya terkapar di dalam kamar akibat kelumpuhan yang dideritanya. Sudah hampir lima tahun, beliau lakoni kehidupan yang semacam ini. Makan, minum, mandi dan buang hajat selalu dibantu oleh anggota keluargannya. Kian hari kondisinya kian memprihatinkan, badannya kurus kering. Yang dapat dilakukan hanyalah menunggu saat ajal tiba. Kata-kata yang selalu keluar ketika ada orang menjenguknya selalu sama: ”kapan saya akan mati? Bukankah si ”A”, si ”B”, atau si ”C” yang masih muda-muda lebih dulu meninggal? Apa mungkin catatan nama saya sudah dilupakan/dihapus oleh Tuhan, sehingga saya tidak mati-mati?”. Inilah fenomena yang dialami salah satu anggota keluarga penulis yang sudah tua sekali dan ingin segera mati, tetapi Tuhan belum juga memanggilnya.
Paragraf diatas dapat dijadikan ilustrasi tentang pemanggilan guru-guru yang mengikuti sertifikasi. Kejutan selalu terjadi ketika pengumuman kuota sertifikasi Dindik kab/kota dipasang di papan pengumuman masing-masing kantor Dindik kab/kota. Masalah klasik yang selalu tampil kepermukaan adalah munculnya nama-nama dengan usia muda yang mendapatkan panggilan untuk mengumpulkan portofolio, sedangkan nama-nama dengan usia lebih tua dengan kualifikasi pendidikan S1 ditinggalkan begitu saja. Pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya yang dijadikan rujukan untuk menentukan si ”A” dapat dipanggil untuk mengikuti sertifikasi? Bagaimana kinerja Dindik kab/kota dalam penentuan nama-nama yang akan dipanggil mengikuti sertifikasi? Apakah berdasarkan database yang dari pusat, atau Dindik kab/kota membuat database sendiri? Apakah sistem informasi dan teknologi yang dimiliki Dindik kab/kota sudah memadai dalam melakukan pendataan? Bagaimana kualitas SDM-nya? Dan sederet pertanyaan lainnya yang masih dapat kita identifikasi. Bahkan sampai pertanyaan yang radikal yaitu bagaimana contiguity factor atau ”faktor kedekatan” dengan pegawai/staf Dindik kab/kota dapat bermain? Ataukah nama-nama guru senior ini telah dilupakan dan dihapus dari Dindik kab/kota?


Sebelum lebih jauh penulis memamparkan kajian teoritisnya hal-hal diatas, alangkah baiknya kita lihat jelaousy symptom (gejala kecemburuan) yang terjadi di kalangan guru, staf tata usaha, pegawai/staf Dindik, dan pegawai di luar Guru akibat adanya sertifikasi tersebut. Gejala ini kian mengkristal bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi bola salju yang akan menjegal keberadaan sertifikasi guru dan dosen ketika suatu saat memasuki ranah politik. Sadar atau tidak sadar banyak sekali kepentingan yang dimenangkan oleh kekuatan politik.
Pertama, gejala kecemburuan yang terjadi di kalangan guru. Hal ini terjadi karena : Guru senior belum sertifikasi sedangkan guru-guru muda sudah sertifikasi. Mengapa guru senior belum sertifikasi? Ada beberapa alasan diantaranya : kualifikasi ijazah belum S1/DIV, belum S1/DIV dan belum berusia diatas 50 tahun. Fenomena kecemburuan ini juga diperuncing oleh guru-guru DEPAG yang masih muda-muda sudah bersertifikasi. Hal ini dikarenakan kuota yang diterima DEPAG lumayan besar, sedangkan jumlah gurunya relatif lebih sedikit. Akibatnya jelas menimbulkan kecemburuan guru-guru di bawah naungan Dinas Pendidikan.
Kedua, kecemburuan di kalangan pegawai/staf Tata Usaha Sekolah. Hal ini dipicu perannya yang juga tidak kalah penting dalam membantu tertib administrasi sekolah termasuk administrasi Guru. Bahkan ada yang ikut mengerjakan portofolio Guru. Ketika sang Guru mendapatkan dana sertifikasi, sang TU hanya bisa gigit jari.
Ketiga, kecemburuan di kalangan pegawai/staf dan pejabat Dinas Pendidikan. Alasannya senada dengan kalangan pegawai/staf TU sekolah. Siapa yang mengurusi guru-guru ini di tingkat kab/kota? Tidak lain adalah orang-orang dan para pejabat Dindik. Bahasa sederhananya, orang-orang Dindik yang mengurusi guru-guru tidak mendapatkan apa-apa, dan harus melalui hari-hari dengan gaji yang tetap sama, sedangkan yang diurusi yaitu guru-guru malah mendapatkan penghasilan yang besar.
Keempat, kecemburuan di kalangan pegawai di luar Guru/Dosen. Kecemburan dipicu adanya tunjangan sertifikasi yang besarnya satu kali gaji yang tidak mungkin dimiliki pegawai lainnya. Kasak kusuk mulai terjadi dengan mengatakan ”enak ya jadi guru, kerjanya dari jam 07.15 sampai 13.00, banyak liburnya, tapi dapat gaji double”, dan pernyataan-pernyataan lain yang menyudutkan. Jika hal ini tidak segera diatasi oleh pemerintah pusat dan daerah bukan tidak mungkin akan menjadi ”bumerang” seperti kasus-kasus yang terjadi akibat pemisahan POLRI dari TNI.
Kembali ke akar permasalahan, bagaimana bisa terjadi kekacauan dalam pemanggilan guru yang mengikuti portofolio/sertifikasi? Sebenarnya jika nama-nama yang mengikuti sertifikasi dikeluarkan oleh LPMP akan dapat mengeliminir terjadi komplain dan ketidakadilan. Bukankah awal pendataan guru untuk mendapatkan NUPTK datanya ada pada LPMP? Seharusnya data ini yang dijadikan acuan dalam penentuan guru-guru yang akan dipanggil untuk mengikuti sertifikasi. Karena dalam pendataan tersebut sudah terdapat nama guru dengan usia dan masa kerja. Jika kedua hal ini yang benar-benar dijadikan acuan, maka bukan menjadi hal sulit bagi LPMP untuk menentukan urutannya, karena LPMP memiliki sistem pengolahan data yang modern. Jika kemudian data yang sudah baku dari LPMP dikembalikan lagi ke Dindik kab/kota, dan diterapkan apa adanya pun dapat mengeliminir kesalahan. Pertanyaannya apakah LPMP melakukan hal yang terakhir ini? Jika tidak, maka yang terjadi pasti seperti sekarang ini. Penulis sendiri mengalaminya, sudah dua kali diberi blanko pengisian data guru yang belum sertifikasi, tapi apakah data ini benar-benar diolah dan dijadikan rujukan oleh Dindik kab/kota dalam penentuan guru- guru yang akan mengikuti sertifikasi? Penulis sangat meragukannya, hanya sebagian kecil saja Dindik kab/kota yang memiliki staf khusus yang menangani sertifikasi. Itupun hanya ditangani satu-dua orang saja. Padahal harus menangani sekian ribu guru dari TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Bukan mustahil faktor human error akan terjadi. Ditambah lagi masih terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung dalam pengolahan data serta sumber daya manusia yang belum mumpuni.

Syarat sertifikasi guru
Sekarang kita kaji tentang persayaratan untuk dapat mengikuti sertifikasi guru. Pertama, persyaratan umum, guru tersebut masih aktif mengajar, diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang belum memiliki sertifikat pendidik. Guru bukan PNS harus memiliki SK sebagai guru tetap, belum memasuki usia 60 tahun, memiliki atau dalam proses pengajuan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
Kedua, persyaratan administrasi, melampirkan SK Honorer, CPNS dan SK terakhir bagi PNS dilegalisasi oleh kepala sekolah, sedangkan guru bukan PNS melampirkan SK pengangkatan pertama sebagai guru tetap dari yayasan atau kepala sekolah. Melampirkan fotocopy ijazah pendidikan terakhir yang dileges oleh kepala sekolah.
Ketiga, syarat khusus untuk uji kompetensi melalui penilaian portofolio, memiliki kualifikasi akademi S-1 atau D-IV dari program studi yang memiliki izin penyelenggaraan. Memiliki masa kerja sebagai guru PNS atau bukan PNS minimal 5 tahun pada satuan pendidikan, guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang belum memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV adalah apabila, mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru atau mempunyai golongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a.
Selanjutnya, persayaratan khusus untuk guru yang diberi sertifikat secara langsung, guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki kualifikasi akademik magister S-2 atau doktor S-3 dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan. Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas pendidikan yang memiliki golongan serendah-rendahnya IV/c atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c.
Setelah syarat itu dipenuhi, dilakukan penilaian berkas sesuai dengan kriteria penetapan urutan peserta, yakni berdasarkan masa kerja, usia, pangkat/golongan (khusus untuk PNS), beban mengajar,tugas tambahan dan prestasi kerja. Jelas disini bahwa masa kerja dan usia menjadi pertimbangan yang mendasar, tetapi mengapa sering diabaikan? Inilah yang menyebabkan guru-guru senior yang idealis yang tidak memiliki ”kedekatan” dengan pejabat menganggap bahwa nama mereka telah dilupakan/dihapus oleh penguasa.

Gaji Guru dibandingkan dengan pejabat negara lainnya
Rencana kenaikan gaji presiden dan menteri yang saat ini sedang dibahas mendapat kritikan. Seperti apa perbandingan gaji pejabat Indonesia? Gaji tertinggi dipegang Gubernur BI yakni Rp 162,2 juta per bulan. Presiden Rp 62,74 juta perbulan. Sementara menteri Rp 18,64 juta per bulan.
Data Tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah per tahun dana yang diterima anggota DPR mencapai Rp 761.000.000, dan di Tahun 2007 mencapai Rp 787.100.000. Jika dianggap kenaikannya linier per tahun; maka untuk periode 2009-2013 akan diterima sebesar Rp 4,5 miliar (ini penghasilan minimal atau bruto, belum termasuk sabetan-sabetannya). Gaji anggota DPR RI ini setara pendapatan gaji guru SMP yang Cuma Rp 2 juta per bulan selama 170 tahun. Maka pantaslah jika mereka mengejar kursi DPR dengan segala daya upaya, bahkan ada yg menghabiskan 1 miliar, belum lagi dana pensiunan yang mereka dapatkan ketika tidak lagi menjabat.
Adanya tenaga pendidik tersertifikasi itu merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di samping itu, program sertifikasi itu juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para guru. Perhatikan struktur gaji guru berikut ini.
• Gaji: golongan terendah diatas 1juta. (diisukan akan naik 3 juta
• Uang makan: ADA!.
• Tunjangan: Kesehatan,anak,istri,perumahan dll. Asuransi: ADA.
• Pensiun: ADA!.
Sekarang setelah melihat daftar di atas apa para guru masih menganggap diri kurang sejahtera? Kalau yg di bandingkan gaji perwira tinggi, kepala BUMN dan pejabat tinggi jelas gaji guru tidak ada apa-apanya, tapi coba bandingkan gaji guru dgn para buruh, kuli harian, kuli panggul, petani, nelayan! Sekarang lihatlah kebawah, jangan selalu melihat keatas. Anda sudah cukup bagus mendapat gaji bulanan,tunjangan ini itu,dan lain-lain. Kapan-kapan coba lihat nasib para petani kita.

Sertifikasi dan kinerja guru
Jumlah guru di Jateng yang telah lulus proses sertifikasi hingga akhir 2009 mencapai sekitar 29.703 orang. Namun hingga kini kinerja guru penerima sertifikasi dianggap belum menunjukkan kinerja yang maksimal, bahkan sebagian guru cenderung menganggap sertifikasi merupakan proses pencapaian akhir.
Hal ini juga mulai dikeluhkan oleh para kepala sekolah yang menganggap guru yang telah terserifikasi tak ada peningkatakan kualitas. Ketua Bidang Pendidikan Dewan Pewakilan Daerah, Sulistyo mengungkapkan, pihaknya juga telah menerima keluhan serupa dari beberapa kepala sekolah terkait kinerja guru penerima sertifikasi yang tidak menunjukkan peningkatan.
"Mereka mengeluhkan mengapa triliunan uang negara yang sudah dikucurkan untuk sertifikasi belum mampu meningkatkan kinerja guru penerimanya?”.
Saat sebelum mendapatkan sertifikasi dan setelah mendapatkan sertifikasi belum menunjukkan adanya perbedaan, utamanya dalam peningkatan mutu. Salah satu bukti yang menunjukkan adalah belum dilaksanakannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan( KTSP) secara ideal oleh seorang guru yang tersertifikasi.
Bagaimana di lingkungan tempat kita bekerja? Jawabnya sama saja. Kecenderungan mereka bekerja super giat, manakala kepala sekolah/pengawas sekolah mendampingi/mengawasi mereka. Tetapi ketika kepala sekolah/pengawas sekolah tidak ada di tempat, mereka bekerja seenaknya. Parahnya lagi, murid-murid dibiarkan kosong dan guru-guru asyik ngobrol atau izin meniinggalkan tugas. Pembelajaran yang mereka lakukan juga masih banyak yang konvensional, baik materi, metode, media dan penilainnya. Ada memang yang semakin profesional, tetapi persentase masih sangat memprihatinkan.

Peran Guru sangat berpengaruh
Peran Guru sangat berpengaruh bagi kemajuan Indonesia ini, berilah mereka kesejahteraan karena nasib bangsa ada di tangan mereka….!!!
Itulah sebabnya di Jepang seorang guru berada di tempat kedudukan yang amat penting karena amat disadari bahwa guru adalah pelaku ujung tombak gerak Negara Jepang, yang telah menjadi mashur dengan tingkat kemajuannya. Bagaimana negara Jepang melalui pemerintahnya, mewujudkan pendapat bahwa peran guru itu demikian pentingnya sehingga benar-benar bisa berhasil dan bisa membuat seorang guru bisa memperoleh penghormatan yang pantas oleh masyarakat di mana dia berada.
Pemerintah kita tidak mampu mengangkat kesejahteraan pagawainya sendiri, termasuk guru-guru. Saya tidak ingin menjelekkan negara sendiri dan pemerintahnya, tentu saja. Tetapi banyak fakta menunjukkan seakan-akan kita saat ini hanya berjalan ditempat selama puluhan tahun. Saya tahu pemerintah Indonesia dengan aparatnya akan mudah membantah dan berdebat tiada berkeputusan, akan tetapi tetap tidak menunjukkan hasil yang pantas. Mari kita bandingkan dengan beberapa negara lain yang kaya, yang amat menyayangi sumber daya manusianya yang bekerja di bidang pendidikan. Saya cuplik beberapa data untuk perbandingan, gaji guru yang terendah dan gaji guru yang tertinggi di Canada, Amerika Serikat Jepang dan Australia.
CANADA. Per year, Vancouver 35,409 50.943 Can$= Rp. 9700,-- Ontario-Tor. 31.681 52.691 . U. S. A. Per year, California rata-rata 55,693, South Dakota 32,414 US$ - Rp. 9,300.--. Japan. Per month, 156,500 516.200 ¥ = Rp.84,--. Australia. Per year, 41,109 58,692 AU$ = Rp.8264,- (Kalau ingin melihat dengan lengkap semua daftar yang tertera untuk tiap-tiap negara silakan membuka web: http://www.educationworld.net/salaries_jp.html khusus untuk Jepang dan untuk lain-lain negara lengkap, webnya adalah: http://www.educationworld/teacher_salaries.html).
Terbaca dalam daftar yang ada, Jepang adalah satu-satunya negara dimana Negara melalui pemerintahnya dan bentuk undang-undangnya amat menghargai guru-guru yang mendidik murid-murid yang sebagian akan ikut mengemudikan pemerintahan di kemudian hari. Seorang kepala Sekolah Dasar akan sama gajinya dengan seorang Professor di Perguruan Tinggi, yang lebih dari 450 juta Rupiah setiap bulannya.
Bukankah dengan pendapatan seperti itu, guru tidak usah risau kalau harus berlangganan majalah ilmiah di sebuah web melalui internet. Dia bisa menggaji orang lain untuk melakukan pekerjaan seperti layaknya seorang public relations – hubungan masyarakat, sehingga bisa selalu menjaga dirinya dalam kecerdasan yang patut. Semoga.

Penulis : Solikhin, Mahasiswa Pascasarjana Unnes Prodi KTP (Kurikulum Dan Teknologi Pembelajaran) NIM 0104509014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar